Cerita Kemala, TKW Asal Sukabumi Yang Dimanfaatkan Keluarga, Hasil Jerih Payah Habis Gak Ada Sisa
Perjalananku dimulai pagi itu, setelah meninggalkan Mahira dengan Ayahnya. Aku turun ke bawah, sebuah mobil telah disewakan Tuan untuk mengantarku menuju kampung halaman. Berbekal keberanian yang cukup aku kembali.
Dengan napas terse ngal dan teramat berat, aku berusaha dengan sangat menata hati agar aku bisa menjadi Kemala yang berani.
Tiga jam perjalanan, akhirnya aku tiba juga di kampung halaman.
Di depan rumah yang sudah direnovasi teras, pagar juga cat dindingnya itu mobil Avanza yang disewakan Tuan berhenti. Rumah Bapak panjang ke belakang, lebar enam meter dengan panjang 18 meter. Aku masih diam menunduk ragu ragu untuk turun mendatangi rumah yang telah banyak memberikanku luka itu.
“Enggak turun Mbak?” tanya Pak Supir.
“Sebentar lagi Pak,” kataku menarik napas. Kuhirup udara sedikit, memejamkan mata, lalu berdoa.
Turun aku dari mobil, dan masuk ke rumah yang pagarnya sudah terbuka separuh, begitu pula dengan pintu tamunya. Masih teringat, hias-hiasan bunga yang terukir rapih di dinding saat pertunangan Dewi. Aku melangkah masuk ke dalam, berat mengucap salam. Namun, sebelum salam itu terucap, suara suara teriakan dengan barang terban ting terdengar nyaring.
Penasaran, aku masuk ke dalam, dan tercengang saat mendengar suara Erhan memben tak ben tak.
“Keluargamu tuh nyusahin aku aja tau enggak! Hu tang inilah itulah! Ibuku tuh pilih kamu karena merasa kamu bisa diandalkan! Malahan sekarang aku yang di pe ras!” bentaknya aku mendelik tajam.
“Jangan berkata begitu Erhan! Kasihanilah Dewi, dia sedang mengan dung!” teriak Mamah.
“Saya nyesel nikah sama kamu! Mala jauh lebih baik dari kamu tahu enggak!” har diknya. Tak lama suara langkah kaki terdengar nyaring, buru buru aku balik ke luar, tapi langkahku sudah tertangkap oleh mata Erhan.
“Siapa ya?” tanya Erhan, aku masih membelakanginya.
“Malaaa …,” lirihnya.
Aku menarik napas berat, kemudian berbalik.
“Hai Han,” sapaku kuat.
“Akhirnya kamu kembali Malaa!” serunya dengan mata berbinar.
“Memangnya kenapa aku tak boleh kembali?”
“Enggak cuma … aku cuma merasa suatu hari kamu pasti kembali”
Aku diam.
“Aku selalu berharap, kita bisa berjumpa lagi, dan kamu mau bicara sama aku,” katanya.
Aku menghela napas, membuang wajah.
“Malaa … pernikahanku dengan Dewi ….”
“Mala!” seru Mamak tiba tiba memotong ucapan Erhan, wanita itu menatapku dengan sorot mata sendu, berair. Perlahan dia mendekat, membentangkan tangannnya.
“Malaa … Malaa! Mamak tahu kamu akan kembali Nak! hhhhhh!” Mamak menangis tersedu, dia begitu saja menjatuhkan kepalanya di da daku. Di bi bir pintu, Dewi terlihat menatapku sendu dengan perut yang lebih besar dari sebelumnya.
Kudorong tubuh Mamak, kemudian menatapnya ta jam.
“Mala ke sini ingin mengambil Rapot Mala Mak.”
“Ra-raaapot,” rintihnya.
“Iya, belum Mamak buang kan?” tanyaku ketus.
“Belum- belum Mala,” lirihnya. Wanita itu kemudian bergegas ke dalam, sementara aku berdiri di antara Dewi dan Erhan.
Kutinggalkan keduanya, lalu mengikuti Mamak ke dalam.
Aku lega, karena setidaknya tak ada lagi drama yang menghan curkan harga diriku. Mereka pasti masih mengira, jika aku benar benar dinikahi Tuan Batu Bara. Mamak membongkar isi lemari, seraya bergumam, “Seingat Mamah, Mamah taruh di sini!” serunya. Dia membuka-buka file, sementara aku melihat rentetan foto Dewi yang terpajang di dinding, sejak dia ba yi sampai dewasa dan menikah. Sementara aku, tak ada satu pun foto kecuali fotoku dengan Bapak saat aku masih ba yi.
“Sebentar ya Mala! Mamak cari lagi," katanya dengan nada memelas.
“Eh tunggu, kamu minum aja dulu ya, biar Mamak buatkan minuman. Kamu mau minum apa?” Aku menggeleng.
“Mala hanya ingin ambil Rapot!” kataku ketus.
Mamak ge la ga pan.
“Iya iya! Mamak cari lagi.”
Tak lama Dewi masuk ke kamar Mamak. Dia ikut mencari, hingga tak lama dia keluar lagi.
“Ini!” katanya padaku seraya menyodorkan rapotku. “Ada di Tas Bapak,” katanya lagi datar.
“Terima kasih,” jawabku.
“Tolong jangan datang lagi Kak,” lirih Dewi. Aku diam, tersa yat mendengarnya.
“Jangan buat hubungan Dewi dan Erhan semakin ka cau!” serunya. Aku menyeringai, tertawa si nis.
“Apa-apaan kamu Dewi!” ben tak Mamak. “Jangan dengerin Dewi, Mala! Dia bicara suka ngaco!” seru Mamak, aku tertawa.
Aku berbalik menatap adikku itu, sementara Mamak berdiri di sampingku.
“Kakak enggak peduli dengan hubungan kalian! Asal kamu tahu, kakak sudah bahagia sekarang! Lebih bahagia dari kamu dan Erhan. Permisi Mak.”
“Mala jangan pergi Mala! Mamak minta tolong Mala! Tolongin Mamak Mala! Mamak dikejar kejar pena gih hu tang terus Mala, bantuin Mamak Malaaaa,” lirih Mamak menarik narik tanganku saat aku ingin keluar rumah.
Tak lama, Bapak datang dengan sepeda ontel lamanya, saat melihatku, dia jatuhkan sepedanya dan langsung merin tih begitu melihatku.
“Malaaa!” lirihnya mendekat. Bapak memelukku erat erat, air mataku meluap terlebih saat melihat tumpukan jerami di belakang sepeda Bapak.
“Seandainya ua ng Mala dipergunakan dengan baik, Bapak tak mungkin ban ting tul ang sampai saat ini,” kataku ke tus.
“Maafin Mama, Mala …. Mamak butuh bantuan kamu Nak. Calon suamimu kan orang ka ya Nak. Dia pasti bisa bantu Mamak, Nak.”
Aku meringis, memejamkan mata. Seandainya semua itu benar adanya, sayangnya semua hanya sandiwara.
“Mala tak bisa bantu Mak,” kataku kemudian. Kurogoh tasku, mengeluarkan semua sisa ta bu nganku kemudian meletakkannya di telapak tangan Bapak.
“Buat Bapak, jaga diri baik baik Pak!” lirihku.
Bergegas aku kembali ke mobil. Bapak berte riak mengejar, sementara Mamak menangis dia terduduk lesu di lantai menatapku dengan pi lu.
Judul : Kemala
Penulis : Isrina Official
Open Disqus Close Disqus